Winter Fireworks

Winter Fireworks

-Winter Fireworks-

“When the giant brocade crowns bloom on the white night sky…”

.

.

himawari’s

.

.

Casts :
|| Choi Haruka (OC) || Kim Jaejoong (JYJ / TVXQ) ||

Genres :
Fluff, Friendship, Romance, Sad

Length :
Oneshot

Inspired by :
A Bleach’s FanArt on the internet

WARN! : Typo(s)! Failed! :p

.

.

.

*~*

I wish I could hate you.
I wish I never met you.
I wish we never knew each other.
But, now when we can not meet again,
I want to see you, I want to see you….

*~*

          Festival di penghujung bulan Desember selalu berhasil menarik minat banyak orang. Beraneka macam stan ramai-ramai didirikan di sepanjang tepi jalanan, mengubah wajah dan fungsinya menjadi pasar malam dadakan.

Meski program prakiraan cuaca yang disiarkan di televisi meleset, toh tetap tak dapat mengubah hati orang-orang yang telah berniat datang berkunjung. Terlebih, malam ini adalah malam terakhir di tahun 2020. Menghabiskan malam spesial di tempat yang spesial pula, bukankah itu yang kerap dilakukan kebanyakan orang? Hanya terhitung beberapa menit lagi sebelum angka 1 menggantikan posisi angka 0 di deret keempat.

Tidak ada yang berbeda dari perayaan pergantian tahun kali ini. Seperti sebelum-sebelumnya. Kalaupun ada, mungkin hanyalah sekelumit wajah baru penjual yang mencoba peruntungan menjajakan barang dagangannya. Sekilas sama.

Haruka melangkahkan kakinya cepat-cepat, menyusuri jalan yang penuh sesak dengan manusia. Meski aspal hitam yang diinjaknya sedikit licin karena serpihan putih halus yang masih teronggok di beberapa sisi. Alih-alih berjalan pelan, gadis itu semakin memperlebar pijakannya, mengabaikan orang-orang di sekitarnya yang menggerutu karena telah tertabrak bahunya, maupun celotehan pedagang yang getol mempromosikan jualannya.

          Ia tidak boleh melewatkannya.

Bukanlah kebetulan belaka, kaki dan otaknya telah terkoordinasi dengan sangat baik. Mereka tahu kapan dan dimana tepatnya harus berhenti. Sejenak, Haruka membungkukkan badannya. Tangannya mencengkram lututnya yang tertutup oleh yukata putih bermotif bunga sakura merah muda yang dikenakannya. Sebulir keringat jatuh dari pelipisnya. Jantungnya berpacu cepat, nafasnya tersengal.

Di sela nafasnya yang memburu, seperti tersadar akan sesuatu, gadis itu menegakkan kembali tubuhnya. Dengan satu gerakan cepat, kedua manik kopi Haruka tertuju pada jam tangan putih yang melingkari pergelangan tangan kirinya.

          11.57.

Jarum detik yang berdetak, berhenti di pertengahan empat dan lima.

          Tak lama lagi.

Sebuah desahan panjang menghembus keluar dari mulutnya. Mata gadis itu terpejam. Ia lelah.

Haruka membuka matanya. Apa yang ditangkap indera penglihatnya membuat dirinya sendiri terkejut. Kerjasama alat gerak, otak, dan hatinya memang luarbiasa.

Di hadapan tempat dimana ia berdiri sekarang, gemerlap lampu kota menerangi kegelapan di atasnya. Ratusan gedung dan rumah yang nampak seperti miniatur mungil menimbulkan kerlap-kerlip bak kunang-kunang. Hiruk pikuk perkotaan tereka jelas.

Perlahan, ia mendekatkan diri ke pagar pembatas. Telapak tangan pucat miliknya bersinggungan dengan dinginnya besi pagar pembatas.

Haruka menengadahkan kepalanya. Gadis itu menatap langit malam yang membentang luas. Tampak indah bertabur bintang. Sang Dewi Malam menggantung indah di sela-sela gelapnya awan, sedikit meredupkan sinarnya menuju bumi. Perlahan, dinginnya hembusan angin malam membelai genit kulitnya.

Gadis itu tengah menikmati ketenangan yang alam berikan, tatkala tiba-tiba, lonceng jam berdentang nyaring, orang-orang di sekelilingnya meniupkan terompet dengan antusias. Di detik yang sama, satu per satu bunga api raksasa mulai terbit di langit. Entah, tanpa skenario, butiran-butiran benda berwarna putih halus bersamaan turun dari kelamnya angkasa malam. Ketika bunga-bunga api mekar di langit, memancarkan cahaya beragam warna, salju yang jatuh seakan merupakan guguran kelopak si Mesiu warna-warni. Suara letusannya cukup keras, membuat orang-orang yang sibuk dengan kegiatannya mengalihkan pandangan mereka meski sekejap. Begitupun Haruka. Ia mengamati tiap tetes salju yang menimpa genggaman tangannya, bergantian dengan kembang api yang dirasa menarik perhatiannya.

Ia memejamkan matanya, mencoba meresapi lebih dalam keelokan harmoni kehidupan yang baru dilihatnya.

*~*

          “Menenangkan, huh?”

Sebuah suara menggema, melalui indera pendengarnya.

Haruka menolehkan wajahnya cepat. Disaat otaknya sibuk mengolah informasi, mengumpulkan potongan-potongan memori, sejurus kemudian sosok yang terpantul di lensa matanya menyebabkan pupil miliknya membulat takjub.

Seorang pria berkulit putih, mengenakan baju tradisional Jepang, dengan paras rupawan berdiri di samping dirinya. Ia memandang tenang angkasa pekat di hadapannya. Rambut hitam pria itu sesekali menari lembut ditiup angin semilir.

Haruka memfokuskan pandangannya kembali ke angkasa. Seulas senyum tipis terlukis di wajahnya.

“…hah,” Gadis itu menyetujui pernyataan sang Pria dengan sebuah desahan yang nyaris tak terdengar. Pemandangan seperti sekarang ini adalah favoritnya sejak sekian lama. Memang sangat indah, begitu membuai, menenangkan..

“Hei,” tak ia sangka, pria tersebut membuka suara.

“Hm?” Haruka berpaling, menaruh penuh perhatiannya pada sang Pria.

What do you wish for,” Ada jeda sejenak sebelum si Pria melengkapi kalimatnya, membuat gadis bernama Choi Haruka yang terpaku di sampingnya, diam-diam mengamati perangai pria itu. Matanya menyorot kagum wajah tampan sang Pria, mengamati tiap lekuk yang membingkai wajah tanpa celanya.

…..on a snowy night?” ucap pria itu lagi, memperjelas pertanyaannya.

Otomatis, dahi Haruka mengernyit, tanda jika ia bingung. Gadis itu mengira pria di sebelahnya tersebut akan bertanya resolusi atau harapannya di tahun yang baru bertambah tua ini. Layaknya orang-orang yang dikenalnya.

“Harapanmu untuk tahun depan apa, Haruka?” kalimat itulah yang normalnya terlontar dari mulut mereka. Sama sekali tak terbersit di kepalanya perihal keinginannya di malam bersalju. Tidak. Ia tak pernah menganggap malam bersalju adalah suatu momen yang spesial, jadi ia rasa tak sekalipun ia pernah mengharapkan sesuatu yang khusus di malam bersalju. Bahkan, selama yang bisa Haruka ingat, ketika tahun baru seperti sekarang ini pun, biasanya yang ia harapkan hanyalah sekedar, ‘semoga jauh lebih baik dari kemarin’ saja.  Tak lebih, tak khusus.

Gadis itu pun mengutarakan keheranannya, “Kenapa di saat malam bersalju?” tanyanya, kembali memperhatikan si Pria, menuntut jawaban. Pria itu diam beberapa saat, kedua alisnya bertautan, tampak memikirkan jawaban yang tepat.

“Karena sekarang adalah saat itu,” jawab si Pria akhirnya. Haruka yang mendengar kalimat santai itu, tetap mempertahankan dahinya yang berkerut, masih tak puas.

Ia membisu, otaknya sibuk mencari keinginannya.

“Kalau begitu, aku tak berharap apapun,” ujar gadis itu memutuskan. Ia menyimpulkan, bahwa tak ada alasan mengapa ia harus berharap di malam ketika salju turun.

“Kenapa begitu!?” pria itu bertanya balik, nada suaranya agak meninggi, menunjukkan ketidakpercayaan. Ia juga menatap Haruka dengan sorot terkejut. Haruka makin bingung, tidak mengerti dengan sikap pria ini.

“Hah? Apanya yang begitu?” Haruka menjawab pertanyaan si Pria dengan pertanyaan.

“Begitu itu… ya.. eung… mengapa tidak mengharapkan apa-apa?” Si Pria lagi-lagi menumpuk pertanyaan-pertanyaan barusan. Haruka hanya mendesah. Ia dan pria ini dari tadi berputar-putar tak jelas.

“Hm… karena malam bersalju bukanlah waktu yang spesial. Lagipula, aku tak mempunyai alasan untuk mengharapkan suatu keinginan di malam bersalju.” jawab gadis itu seadanya. Ia hanya mengucapkan apa yang otaknya ingin keluarkan.

Si Pria menaik-turunkan kepalanya, ke atas-bawah, berusaha memaklumi pemikiran gadis di sebelahnya.

“Kau sendiri, apa yang kau harapkan?” Haruka bertanya balik.

Pria itu terdiam. Pandangannya lagi-lagi menerawang jauh ke kegelapan malam. Haruka mengusapkan kedua tangannya yang mulai terasa beku.

Gadis itu mulai kehilangan kesabaran ketika pria di sampingnya hanya bergeming. “Ya! Jangan bilang kau sendiri tak punya keinginan?” ujarnya kesal.

Pria itu meringis dan menggaruk tengkuknya yang tak gatal, “Ya! Aku sedang memikirkannya, ––tentu saja aku punya!” sanggahnya cepat. Haruka menatapnya menantang. Gadis itu tahu pria ini tadinya tak memiliki sebersit keinginanpun, sama seperti dirinya.

“Keinginanku…” lagi-lagi si Pria mengalihkan pandangannya ke tempat ribuan bintang berkerlip indah. “…menemukan keinginan itu sendiri,” jawabnya sembari melontarkan sebuah senyuman hangat yang entah, pun terasa misterius bagi gadis itu.

Haruka mendengus. Ia tak tahu harus memberikan respon seperti apa pada pria asing di sebelahnya. Sudah jelas kalimatnya barusan sama saja dengan ia tidak punya jawaban. Ia memutuskan untuk tidak peduli lagi dengannya. Lagipula, ibunya pernah bilang, “Jangan berbicara dengan orang asing!” bukan?

“Hei…” seperti tak melihat ekspresi masam di wajah Haruka, pria itu masih saja mengajaknya berbicara.

Choi Haruka tak bergeming.

“Kau… marah?” pertanyaan si Pria barusan membuat Haruka memutar kepalanya, menatap orang tak dikenal di sampingnya tanpa minat.

Gadis itu harus mengakui bahwa orang yang sekarang bersamanya adalah orang asing agak aneh namun paling tampan yang pernah ditemuinya. Mata pria itu menunjukkan rasa bersalah, alis hitam tebalnya bertautan.

“Kenapa aku harus ma—”

DENG DENG DENG!

Suara dentuman lonceng dari sebuah kuil di daerah sekitar mengagetkan mereka. Belum sempat ucapan Haruka yang menggantung di udara ia lanjutkan, pria tampan itu tampak tergesa.

“Ah… Aku… harus pergi… Jangan marah ya.. Maaf,” Ia beranjak dari posisi semula yang menumpu pagar besi dingin. Senyum menghias wajah tampannya, membuatnya semakin susah dideskripsikan keindahannya.

“Aku sama sekali tidak marah,” kilah Haruka dengan nada datar, masih bertahan tak acuh.

“Kau bilang begitu tapi air mukamu seperti itu,” si Pria mengerucutkan bibirnya. Baiklah. Sekarang Haruka memang marah. Ia baru saja akan mendelik pada pria aneh di sampingnya,

“Jaaaa, aku berharap apapun keinginanmu akan terkabul!” Lagi-lagi pria di sebelahnya membuat gadis ini nyaris lupa ia berada dimana. Pria di hadapannya mengembangkan senyum, lebih memukau dari sebelum-sebelumnya. Ia benar-benar seperti malaikat.

“Sampai jumpa lagi— Haruka!” dengan sedikit berlari, pria itu mengedikkan kepala diikuti lambaian ringan sebelum akhirnya perlahan menghilang di balik kerumunan orang-orang.

Saat itu Haruka tak sadar, tangan kanannya terangkat di udara, membalas lambaian pria asing aneh yang entah dari mana tahu namanya. Gadis itu terpaku dan terpana.

*~*

          Haruka membuka matanya. Kilas balik memorinya berputar jelas di benaknya. Gadis itu mendengus pelan, lalu tersenyum singkat.

Pada kantong kecil sewarna sakura yang digenggamnya, terajut jelas huruf kanji musim semi “春” dan huruf hiragana “か” yang berarti namanya. Ia merasa bodoh karena dulu tak menyadarinya.

Meski ia tahu, mungkin tak akan ada orang yang bertanya kalimat absurd “What do you wish for on a snowy night?” selain pria itu, tapi, setidaknya ia sudah mempunyai jawaban jika saja keajaiban mempertemukan mereka kembali,

Let’s us meet again,

.

.

.

A/N :

Hahahahahaha seharusnya ini FF debut saya di sini /‘o‘/ (INI UDAH BERTAHUN-TAHUN YANG LALU /lebay/) tapi berhubung saya males nge-post dan merasa ini abal banget *emangadayangenggak?* jadi gak saya post huehehe /apalagiiniharusnyadiposttanggal29kemarin/ /kenatendangAlunnie/

Berhubung JYJ comeback, jadi biarlah meski abal saya post aja daripada useless, demi Bang Jaje, udah dibuat pula, dan untuk meramaikan suasana juga~

Ini udah dibuat lamaaaaa banget dari zaman nggak enak, dan pas itu saya lagi galau terus nemu ini

Snowy Night

dan jajaaaang~ saya bikin deh FF ini.

Tengkyu buat Al Unnie yang bikin posternya pas itu nagih terus FF ini juga, tapi gak saya post, gomeeeen!

Gak tau juga ini kayaknya lo ya ada yang kepotong, biarin ah, males ngedit =3=

Bahasanya, yah entahlah saya nggak paham saya ngapain waktu itu so, yaaaaah!

BANG JEJE GANTENG!

bye.

Leave a comment